Problematika Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia : Antara Harapan dan Realitas
Oleh: Masroni ( Mahasiswa USP Pati)
Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang digunakan dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga teknologi.
Di Indonesia, bahasa ini diajarkan sejak tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Namun, meski telah dipelajari bertahun-tahun, kemampuan berbahasa Inggris masyarakat Indonesia secara umum masih rendah.
Hal ini terlihat dari laporan EF English Proficiency Index (EF EPI) tahun 2023 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-62 dari 113 negara, dengan kategori “kemampuan sedang” atau moderate proficiency (EF, 2023).
Fakta ini menunjukkan adanya problematika mendasar dalam pembelajaran bahasa Inggris di tanah air.
1. Kurikulum yang Lebih Menekankan Teori
Kurikulum pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia cenderung menitikberatkan pada penguasaan tata bahasa (grammar) dan tes tertulis.
Menurut penelitian Musthafa (2018), orientasi pembelajaran seperti ini membuat siswa cenderung menghafal aturan tanpa menguasai keterampilan berkomunikasi.
Akibatnya, banyak siswa mampu menjawab soal pilihan ganda dengan benar, tetapi tidak percaya diri ketika harus berbicara bahasa Inggris di dunia nyata.
2. Metode Pengajaran yang Monoton
Banyak guru masih menggunakan metode konvensional berbasis ceramah dan latihan soal tertulis. Padahal, bahasa adalah keterampilan yang memerlukan latihan interaktif.
Penelitian oleh Astuti & Lammers (2017) menunjukkan bahwa penggunaan metode berbasis komunikasi (Communicative Language Teaching/CLT) dapat meningkatkan keberanian siswa dalam berbicara.
Sayangnya, penerapan CLT masih terbatas karena keterbatasan pelatihan guru serta minimnya fasilitas pendukung.
3. Lingkungan Belajar yang Tidak Mendukung
Salah satu faktor terbesar penghambat keberhasilan belajar bahasa adalah lingkungan. Menurut Krashen (1982) dalam teori “input hypothesis”-nya, paparan bahasa yang berkelanjutan sangat penting bagi pemerolehan bahasa.
Namun di Indonesia, penggunaan bahasa Inggris di luar kelas sangat minim. Siswa jarang terpapar percakapan, media, atau interaksi yang memaksa mereka menggunakan bahasa Inggris secara natural.
4. Faktor Psikologis dan Budaya
Rasa malu, takut salah, dan budaya “takut mendapat nilai jelek” sering menjadi penghalang. Penelitian oleh Widiati & Cahyono (2016) menegaskan bahwa faktor afektif seperti kepercayaan diri, kecemasan, dan motivasi sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbicara.
Banyak siswa Indonesia lebih memilih diam daripada mengambil risiko melakukan kesalahan di depan kelas.
5. Ketimpangan Akses Pendidikan
Selain itu, terdapat kesenjangan antara sekolah di perkotaan dan pedesaan. Sekolah di kota besar umumnya memiliki guru yang lebih kompeten dan akses teknologi yang lebih baik, sedangkan sekolah di daerah masih terbatas.
Hal ini membuat kemampuan bahasa Inggris di Indonesia sangat bervariasi dan memperlebar kesenjangan kualitas pendidikan nasional (Susanti, 2020).
Refleksi dan Rekomendasi
Menghadapi problematika ini, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:
Pertama, perubahan kurikulum ke arah pembelajaran berbasis komunikasi, bukan sekadar ujian tertulis.
Kedua, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan metode pengajaran modern seperti CLT atau Task-Based Learning.
Ketiga, pemanfaatan teknologi digital seperti aplikasi pembelajaran bahasa, media sosial, dan platform video interaktif untuk memberikan paparan bahasa Inggris yang lebih luas.
Keempat, penciptaan lingkungan bahasa di sekolah melalui English day, klub bahasa Inggris, atau program pertukaran pelajar.
Kelima, perubahan budaya belajar dengan menekankan bahwa kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran, bukan sesuatu yang memalukan.
Penutup
Pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, mulai dari kurikulum, metode, lingkungan, hingga faktor psikologis dan ketimpangan akses.
Namun, problematika ini bukan tanpa solusi. Jika pembelajaran diarahkan pada praktik komunikasi, didukung oleh guru yang kompeten, serta lingkungan yang kondusif, maka generasi muda Indonesia berpeluang untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya.
Dalam era globalisasi, kemampuan berbahasa Inggris bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, tetapi sebuah kebutuhan untuk bersaing di kancah internasional.
Masroni 2024215013 D3 M. Perkantoran Universitas Safin Pati (USP)
Referensi
Astuti, P., & Lammers, J. C. (2017). Learners’ Perceptions of the Use of Communicative Language Teaching in Indonesian Classrooms. Indonesian Journal of Applied Linguistics, 7(2), 459–467.
EF. (2023). EF English Proficiency Index. Retrieved from https://www.ef.com/epi
Krashen, S. D. (1982). Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon Press.
Musthafa, B. (2018). Teaching English in Indonesian Schools: A Review of Emerging Trends and Challenges. TEFLIN Journal, 29(1), 1–18.
Susanti, D. (2020). Educational Inequality in English Learning in Indonesia. Journal of Education and Practice, 11(15), 45–53.
Widiati, U., & Cahyono, B. Y. (2016). The Teaching of EFL Speaking in the Indonesian Context: The State of the Art. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 44(1), 1–17.

0 Komentar